BERDJOEANG SAMBIL BELAJAR

 


(ditulis oleh : R.Ay Sumarah Hartati Kusumastuti)

The Three positive emotions :

“Courage is not the absence of fear, but rather the judgment that something else is more important than fear.” – Ambrosse Redmoon, Author in Ohio USA

“Life is a series of natural and spontaneous changes. Don’t resist them; that only creates sorrow. Let reality be reality. Let things flow naturally forward in whatever way they like.” – Lao Tzu Chinesse Filsuf

“Peace cannot be kept by force; it can only be achieved by understanding.” – Albert Einstein – Technocrat Jewish

Dimulai dari KEBERANIAN menghadapi rasa takut, KEIKHLASAN menerima setiap perubahan dalam hidup, hingga KEDAMAIAN untuk memahami rahasia Illahi, tampaknya proses itulah yang menjiwai dan mengantarkan Eyang Kakung H Ismanoe Djojosoemarto, ayah mertua saya saat mulai berjuang sebagai pelaku sejarah MASTRIP Jawa Timur, dan menjadi sesepuh yang kami banggakan hingga saat ini. Dan inilah kisah beliau :

Hari masih siang, matahari bersinar terang. Dua pemuda bersaudara menikmati pertunjukan Sandiwara di gedung kesenian Doho Kediri. Kedua pemuda itu adalah Alm Pak Puh Mugi, dan ayah kami Ismanoe Djojosoemarto. Ditengah-tengah suasana hiburan segar, tiba-tiba melalui Loud Speaker gedung diumumkan “Saudara-saudara, Inggris dan Belanda akan menyerbu Surabaya. Siapa saja yang terpanggil untuk ikut berjuang berkumpullah di depan GNI, Gedung Nasional Indonesia.” Pengumuman itu dilakukan berulang-ulang dengan penuh semangat.

Ayah kami Ismanoe Djojosoemarto saat itu masih siswa SMK Kediri, sedangkan Pak Puh Mugi sudah Prajurit Satu, mereka saling berpandangan, pengumuman itu membuat jiwa kebangsaan mereka terketuk. Tanpa menyelesaikan tontonan sandiwaranya, dua bersaudara ini segera menyiapkan diri dengan tekad bela negara.

Bersama para pemuda dari Kediri dan sekitarnya mereka berkumpul di GNI, dari sana mereka dinaikkan truk menuju Surabaya. Senja menjelang ditanggal 9 November 1945 truk yang mengangkut para pemuda pejuang itu ternyata hanya sampai di Mojokerto, seterusnya mereka berjalan kami sampai ke Surabaya.

Kung Pa

Semangat yang membara di hati segenap anak bangsa pada waktu itu, membuat langkah mereka terasa ringan. Mereka tergabung dalam TKR Tentara Keamanan Rakyat yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah.  Setelah berjalan kaki sampai di Kebun Binatang Surabaya, pasukan diarahkan ke Banyu Urip. Disana pasukan dipecah untuk menyerbu Surabaya. Bapak Ismanoe dan Pak Puh Mugi bertempur di Kedung Doro yang saat itu masih menjadi wilayah Kuburan China, pertempuran berlanjut sampai ke Kantor Pos Surabaya.

Dari arah laut dan udara, pasukan Inggris memborbardir kota Surabaya dengan tembakan-tembakan meriam dan mitraliur beruntun. Suasana sangat mencekam, setiap saat nyawa bisa melayang, karena mereka tidak bisa memperkirakan kemana peluru meriam dan sapuan mitraliur itu akan disasarkan. Bapak dan pak Puh Mugi hanya bermodalkan bambu runcing. Dari TKR yang punya senjata hanya beberapa komandan pasukan bekas anggota PETA dan HEIHO.  Pasukan mereka terus terdesak mundur karena kalah senjata.

Diwilayah Pasar Kembang hati Bapak teriris, begitu banyak kawannya yang gugur terkena meriam laut, setiap saat ada yang gugur hanya daun pisang yang bisa dipakai untuk menutup jasad mereka. Miris rasanya saat Bapak menolong anak kecil yang sekarat, dan akhirnya mati.

Akhirnya mereka mundur sampai ke wilayah Pasar kembang. Korban tembakan meriam laut Inggris dan Belanda makin banyak, Bapak memfocuskan diri untuk menolong para korban. Mengandalkan kegesitan masa mudanya tanpa memperhitungkan ancaman bahaya yang begitu besar, Bapak terus menolong korban yang masih bisa diselamatkan, mereka-mereka yang terluka parah dan sekarat. Mereka mundur ke arah Coen Boulevaard, disana ada gedung megah markas Polisi Istimewa Surabaya (Tokubetsu Keisasutai).

Mereka terus terdesak mundur sampai ke wilayah Sepanjang. Dalam keletihan yang teramat sangat saat rembang petang Bapak sampai di sebuah bangunan, Bapak memasuki bangunan itu.

Rasa capek dan pening setelah berjuang seharian, membuat Bapak merebahkan diri disebelah “seseorang” di dalam gedung yang gelap pekat. Bapak tertidur lelap.

Malam harinya karena lapar, Bapak keluar cari makanan, saat kembali mau masuk ke gedung untuk beristirahat, barulah ada informasi bahwa sekelompok tubuh yang terbaring rapi dengan selimut di dalam gedung itu adalah “mayat-mayat” korban perang. Jadi beberapa saat yang lalu saat tertidur lelap Bapak berdampingan dengan mayat-mayat yang memang dikumpulkan di gedung itu….hiiiyyy.

Sampai dengan awal Desember 1945 Bapak dan Pak Puh Mugi kembali ke Kediri, Bapak tetap bersekolah, sambil melakukan persiapan untuk melawan Belanda dan sekutunya. Disela-sela kesibukannya bersekolah Bapak mulai diajari penggunaan senjata, mengisi peluru dan cara memasang mortir. Beberapa bulan kemudian di awal 1946 Bapak dikirim ke Surabaya dibawah panji DPRI Dewan Perjuangan Republik Indonesia. Dalam penugasan Bapak bertempur di daerah Buduran bersama pasukan dari Jember. Dalam pertempuran ini Bapak sudah membawa senjata yaitu jenis Karabin (Carabine). Senjata ini lebih pendek larasnya dari senapan tempur. Senapan ini efektif pada jarak dekat yang membutuhkan senjata lebih ringan dan lebih akurat. Pelurunya pun berukuran lebih kecil dari senapan tempur sehingga bisa memuat banyak dalam satu kotak.

Di DPRI Bapak ditempatkan di Pos Sebelah Timur Kabupaten Sidoarjo, dekat Kejaksaan.  Pada bulan April terjadi serangan Belanda yang cukup hebat, bersama teman-temannya Bapak berjuang sampai terpukul mundur ke wilayah Tanggul Angin. Dari Tanggul Angin yang sudah sulit dipertahankan pasukan Bapak terus mundur ke wilayah Mojokerto dan bertahan disana sampai beberapa bulan. Setelah itu Bapak kembali ke Kediri untuk melanjutkan sekolahnya.

Bulan Desember 1946 Belanda menyerang Kediri. DPRI kocar kacir, mundur ke Gunung Klotok, setelah serangan mereda, Bapak turun dari Gunung Klotok dan mulai bergabung dengan pasukan MASTRIP Jawa Timur di Banyakan Kediri.

Dibawah pimpinan Bapak Widarbo yang dipanggil sebagai Mas Darbo, Bapak mulai diajarkan perang gerilya, bersama sahabat-sahabatnya Mas Margono, Nyoman Sardi (Danru) dll. Pada saat bergerilya pasukan Bapak bergabung dengan pasukan Zeni dari Pabrik Mrican. Perang Gerilya Bapak di mulai di Mojo, kemudian beralih ke Timur Sungai Brantas, berlanjut ke Ploso Klaten Blitar dan Dukuh Wlingi.

Di wilayah Banyakan pada pertempuran sporadis, seorang sahabat Bapak meninggal yaitu Bapak Karjani. Kesedihan Bapak makin bertambah saat di Ploso Klaten satu lagi sahabatnya meninggal yaitu Bapak Abdul Latif. Dari Ploso Klaten gerilya dilanjutkan di Planjer, kehilangan 2 sahabatnya membuat Bapak lebih berhati-hati untuk saling melindungi dalam satu tim. Namun untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak dalam serangan tembak menembak langsung dengan Belanda dalam jarak dekat, Bapak Jarwo salah satu sahabatnya terkena tembakan dan meninggal dunia, dan satu lagi sahabat Bapak, yaitu Bapak Suharyo luka-luka.  Pertempuran yang membawa korban jiwa sahabat Bapak dari Mastrip Jawa Timur terakhir adalah di Blitar, yaitu gugurnya Bapak Cemplon.

Setelah pertempuran usai, Bapak focus melanjutkan pendidikannya. Seusai menyelesaikan pendidikan di SMK, Bapak hijrah di Surabaya melanjutkan ke Fakultas Hukum UGM yang saat itu membuka cabang di Surabaya.

Bapak mondok (kost) di Tembok Dukuh Surabaya. Ternyata di tempat kost-kostan itulah cinta Bapak bertaut “Gedang Kepok Gedang Ijo, Wong Mondok dadi Bojo” parikan itu tepat sekali untuk Bapak, karena putri pemilik kost telah memikat hati Bapak. Dan akhirnya alm Ibu Darmi Susanti menjadi pendamping Bapak yang setia sampai Allah memanggilnya di bulan April 2011.

Bapak meneruskan “perdjoeangan” tetapi bukan lagi dengan mengangkat senjata, kali ini bidang keilmuan yang menjadi sasaran Bapak. Di dampingi ibu, diawal karirnya Bapak mengabdi di Tanjung Pinang selama 3 tahun mengajar di SMA bidang study, Ketatanegaraan, Ekonomi, Bahasa Sanskerta dan kadang-kadang OR & Gambar kalau gurunya berhalangan. Di Tanjung Pinang juga putra sulungnya alm mas Bambang Riyanto (yang baru meninggal tgl 24 Maret 2016) lahir.

Karir Bapak dibidang pendidikan berlanjut di Jawa Timur, sebagai Kepala Pendidikan dan Kebudayaan di Gresik, Rektor Universitas Negri Gresik dan terakhir menjabat sebagai Pengawas Sekolah di Kanwil Propinsi Jatim. Setelah berkarir di Surabaya inilah mas Yudi Prasetyo Djojokusumo dan adik-adiknya lahir mengisi hari-hari bahagia Bapak dan Ibu.

Post a Comment

0 Comments

Ad Code

Responsive Advertisement