Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya adalah sebuah palagan yang dahsyat dan ikonik. Pertempuran yang berlangsung selama tiga pekan itu kerap disebut sebagai perang melawan pasukan asing pertama dan terbesar sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Sebanyak 6.000 – 16.000 pejuang Republik gugur dan 200.000 warga sipil mengungsi. Dipihak lawan, setidaknya 2.000 orang terbunuh. Amat setimpal jika kemudian pemerintah menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Bung Tomo yang lahir pada 3 Oktober 1920 dengan nama Sutomo dinilai telah menghidupkan makna “revolusi” di medan-medan perlawanan. Ketika pemerintah pusat bertindak lembek pasca Proklamasi 17 Agustus 1945 dengan membiarkan tentara Sekutu berkeliaran di jalan-jalan, Bung Tomo memilih menyongsong kolonialisme baru itu dengan menggerakkan perlawanan.
Saat itu Bung Tomo, arek asli kampung Blauran, bukanlah pemimpin pemuda. Ia merupakan Kepala Departemen Penerangan di organisasi Pemuda Republik Indonesia, yang memiliki laskar terbesar di Surabaya. Tapi justru dengan posisi itu wartawan Domei (sekarang Antara) ini tahu betul bagaimana membangkitkan jiwa pemberontakan rakyat.
Tak terbayangkan bahwa pertempuran di Surabaya akan begitu masif tanpa agitasi Sutomo di radio. Orasinya setiap hari pada pukul setengah enam sore selalu ditunggu. Orang menyemut di sekitar tiang-tiang pengeras suara yang tersebar di berbagai sudut kota Surabaya. Suara Bung Tomo di radio pemberontakan itu bahkan terdengar hingga ke Yogyakarta. Ia berjasa meluaskan revolusi, sehingga tak hanya menjadi urusan orang-orang pergerakan atau laskar-laskar pemuda. Lewat pidato dan takbir yang membakar, ia menggerakkan tentara, pemuda, kiai, santri, tukang becak dan orang kecil lainnya dari berbagai pelosok Jawa untuk berjibaku di medan laga Surabaya.
Darah pasti banyak mengalir. Jiwa pasti banyak melayang. Tetapi pengorbanan kita ini tidak akan sia-sia, Saudara-saudara… .Anak-anak dan cucu-cucu kita dikemudian hari, insya Allah pasti akan menikmati segala hasil perjuangan kita ini….Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih, merah dan putih, maka selama itu, tidak akan kita mau menyerah kepada siapa pun juga…Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar….MERDEKA !
Sumber: Majalah TEMPO
0 Comments